Kasus pelanggaran royalti musik oleh jaringan restoran Mie Gacoan menjadi sorotan tajam dalam lanskap hukum kekayaan intelektual Indonesia. Sengketa ini melibatkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) sebagai otoritas musik nasional yang menuntut kepatuhan terhadap hak ekonomi pencipta lagu. Artikel ini membahas akar masalah, konteks hukum, respons para pihak, serta implikasi luas terhadap bisnis komersial dan regulasi hak cipta di Indonesia.
Latar Belakang Kasus
Pada 26 Agustus 2024, SELMI secara resmi melaporkan dugaan pelanggaran royalti ke Polda Bali terhadap operator Mie Gacoan di wilayah tersebut. Tuduhan ini terkait dengan pemanfaatan karya musik tanpa lisensi resmi di ruang komersial. Musik-musik populer yang diputar dalam restoran diduga berasal dari katalog milik pencipta lagu yang dilindungi, namun tidak disertai pembayaran imbalan ekonomi sesuai ketentuan.
Tuduhan dan Kronologi Pelanggaran
Pelanggaran diklaim telah berlangsung sejak tahun 2022. Menurut LMKN, berbagai upaya persuasif telah dilakukan, termasuk edukasi dan peringatan langsung kepada manajemen. Namun, tidak ada tanggapan atau langkah korektif yang berarti dari pihak Mie Gacoan.
“Kami telah mengingatkan mereka sejak 2022. Upaya edukasi dan dialog sudah kami lakukan, tetapi tidak ada itikad baik,” — Dharma Oratmangun, Ketua LMKN.
Estimasi kerugian akibat pelanggaran tersebut disebut mencapai miliaran rupiah, mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang tarif royalti, yang memperhitungkan kapasitas tempat duduk restoran sebagai salah satu parameter penentu biaya.
Dasar Hukum: Undang-Undang Hak Cipta
Pijakan hukum yang digunakan dalam kasus ini adalah:
- Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
- Pasal 9 Ayat (1) yang mengatur kewajiban memperoleh izin atas pemanfaatan hak ekonomi dari karya cipta
Pemutaran musik di tempat usaha termasuk dalam kategori pemanfaatan ekonomi karena berfungsi menciptakan atmosfer yang menarik konsumen. Tanpa lisensi, tindakan ini masuk dalam ranah pidana, dan dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana penjara serta denda.
Status Tersangka dan Dampaknya
Direktur utama PT Mitra Bali Sukses operator waralaba Mie Gacoan di Bali telah ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini menjadi babak baru dalam penegakan hukum royalti, yang sebelumnya jarang menyasar sektor F&B secara langsung.
Beberapa gerai Mie Gacoan di Bali diketahui telah menghentikan pemutaran musik sebagai respons atas status hukum tersebut.
Tanggapan Otoritas Musik Nasional
LMKN menilai langkah hukum ini sebagai bentuk penegakan hak ekonomi pencipta lagu yang telah lama diabaikan oleh pelaku usaha. Menurut LMKN:
- Tarif royalti di Indonesia relatif rendah dan terjangkau, termasuk untuk pelaku UMKM
- Tidak ada alasan komersial untuk menghindari kewajiban hukum tersebut
- Penegakan hukum diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kolektif pelaku bisnis terhadap pentingnya lisensi musik
Implikasi terhadap Sektor Bisnis dan UMKM
Kasus ini memberikan pelajaran penting bagi pelaku bisnis lain, khususnya di sektor:
- F&B (makanan dan minuman)
- Retail dan pusat perbelanjaan
- Perhotelan dan hiburan
Setiap pemanfaatan musik di ruang publik wajib didaftarkan dan dikenakan royalti, baik sebagai musik latar, pertunjukan langsung, maupun penayangan media audio-visual.
Prinsip Fair Use Tidak Berlaku untuk Komersial
Dalam hukum hak cipta, prinsip “fair use” tidak berlaku untuk aktivitas komersial seperti pemutaran musik di restoran. Indonesia menggunakan pendekatan lisensi kolektif melalui LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) untuk mengatur distribusi royalti secara adil dan transparan.
Potensi Reformasi dan Evaluasi Regulasi
Kasus ini juga membuka peluang evaluasi terhadap:
- Skema tarif royalti yang lebih adaptif terhadap skala bisnis.
- Digitalisasi lisensi agar proses perizinan musik lebih mudah, murah, dan akuntabel.
- Transparansi pelaporan penggunaan musik melalui platform digital.
FAQ Seputar Royalti Musik di Tempat Usaha
1. Apakah semua restoran wajib bayar royalti?
Ya. Setiap tempat usaha yang memutar musik untuk konsumsi publik wajib membayar royalti melalui LMK yang sah.
2. Apa yang terjadi jika tidak membayar royalti?
Bisa dikenakan sanksi pidana, denda, dan tuntutan hukum sesuai UU Hak Cipta.
3. Apakah musik bebas lisensi perlu dibayar?
Tidak, jika dibuktikan berasal dari sumber bebas royalti. Namun pembuktian tanggung jawab ada pada pelaku usaha.
4. Siapa yang mengelola pembayaran royalti di Indonesia?
LMKN sebagai regulator, dan LMK seperti SELMI sebagai eksekutor distribusi dan pengawasan.
5. Apakah UMKM juga wajib membayar royalti?
Ya, tapi dengan tarif khusus UMKM yang lebih ringan.
Kesimpulan
Kasus royalti musik antara Mie Gacoan dan otoritas musik nasional bukan sekadar konflik bisnis, tetapi mencerminkan pentingnya kepatuhan terhadap hukum kekayaan intelektual. Dalam ekonomi kreatif, hak cipta bukan hanya perlindungan legal, melainkan bagian dari keadilan ekonomi bagi pencipta karya.
Bagi pelaku usaha, pemahaman dan penerapan lisensi musik bukan pilihan, melainkan kewajiban hukum. Penegakan yang dilakukan LMKN dan SELMI diharapkan membentuk ekosistem usaha yang lebih sadar hukum, adil, dan berkelanjutan.
Internal Linking yang Direkomendasikan:
- Panduan Lengkap Hak Cipta dan Royalti Musik di Tempat Usaha
- Daftar Tarif Royalti Resmi oleh LMKN
- KBLI 93291: Aktivitas Hiburan dan Musik Komersial
Tags SEO: royalti musik restoran, pelanggaran hak cipta Indonesia, kasus Mie Gacoan 2025, LMKN, SELMI, lisensi musik komersial, hukum hak cipta usaha F&B